TIM RESOLUSI KONFLIK MULTIPIHAK JALAN TENGAH MEDIASI KONFLIK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN

Kamis 20 Pebruari 2020 lalu, bertempat di ruang rapat kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk ketiga kalinya Tim Resolusi Konflik (TRK) multipihak kembali menyelenggarakan rapat kerja. Tujuannya mengevaluasi realisasi program kerja tahun 2019. Sekaligus menyusun rencana program kerja tahun berjalan 2020 ini.

Ada baiknya berkaca pada kilas balik awal. Melalui berbagai pembahasan dan diskusi, serta serangkaian proses panjang persiapan tanpa mengenal lelah, akhirnya Tim Resolusi Konflik untuk PT. Lestari Asri Jaya dan PT. Wanamukti Wisesa berhasil dibentuk. Memperoleh legalitas SK Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi No. 263/Kpts/Dishut-5.3/XII/2018. Keberadaannya makin legitimate setelah secara resmi dikukuhkan Dirjen PHPL pada tanggal 20 Agustus 2018 di Jambi. Pasca pengukuhan pada hari yang sama, untuk kali pertama Tim Resolusi Konflik multipihak dimaksud menyelenggarakan Rapat Kerja 2018.

Tulisan ini merupakan sebuah catatan kecil. Atas berbagai fenomena penting yang mengemuka terkait dengan dua tahun beroperasinya Tim Resolusi Konflik multipihak. Dengan segala dinamika sosial, ekonomi dan budaya beserta capaian kinerjanya. Termasuk beberapa persoalan maupun target yang masih manjadi pekerjaan rumah Tim Resolusi Konflik multipihak. Khususnya manajemen PT. Lestari Asri Jaya dan PT. Wanamukti Wisesa ke depan.

Pemetaan Potensi Konflik

Semua berawal dari komitmen manajemen PT. Lestari Asri Jaya dan PT. Wanamukti Wisesa untuk memetakan potensi konflik di areal konsesinya pada tahun 2017. Kegiatan tersebut merupakan pengejawantahan Peraturan Dirjen PHPL No. P.5/PHPL/UHP/PHPL.1/2/2016 tentang Pedoman Pemetaan Potensi dan Resolusi Konflik Pada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Produksi.

Rasionalitasnya sangat jelas. PT. Lestari Asri Jaya yang beroperasi berdasarkan SK. Menhut No. 141/Menhut-II/2010 seluas 61,495 hektar, sementara PT. Wanamukti Wisesa yang beroperasi berdasarkan SK Menhut No. SK Menteri Kehutanan No 5952/Kpts-II/2002 seluas 9,264 hektar hingga tahun 2017 mengalami hambatan operasional yang sangat serius. Tersebab, luas areal konsesi yang telah diokupasi masyarakat sudah demikian luas. Baik dalam bentuk lahan pertanian (ladang) dan semak belukar (bekas ladang), kebun karet, kebun sawit hingga pemukiman di dalam kawasan konsesi. Potret umum sekaligus masalah klasik yang dihadapi hampir semua perusahaan HTI di Indonesia.

Berdasarkan hasil identifikasi pemetaan potensi konflik di desa-desa dan pemukiman di dalam dan di sekitar konsesi, kedua IUPHHK-HT ini memiliki struktur konflik yang sangat rumit. Boleh dikatakan memiliki jenis konflik yang paling kompleks dari semua konflik yang pernah ditemui di area konsesi HTI di Indonesia. Mengapa demikian ?

Pada umumnya, konflik di sebuah perusahaan IUPHHK hanya memperhadapkan pihak perusahaan dengan masyarakat. Baik masyarakat setempat maupun kaum pendatang. Terkait dengan klaim lahan. Fenomena konflik di PT. Lestari Asri Jaya dan PT. Wanamukti Wisesa ternyata relatif berbeda.

Selain mengandung konflik klasik yang memperhadapkan masyarakat desa hutan dan warga pendatang dengan perusahaan, juga ditemukan potensi konflik perusahaan dengan masyarakat adat. Dalam konteks klaim tanah ulayat atau hutan adat. Terkait kasus konflik ini perusahaan berhadapan dengan Komunitas Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba.

Bukan hanya itu saja. Identifikasi secara lebih mendalam ditemukan pula kasus konflik bukan dengan masyarakat (Baca : manusia) semata. Di dalam konsesi kedua IUPHHK-HT tersebut, ternyata juga mengandung konflik satwa. Tersebab kawasan konsesi PT. Lestari Asri Jaya menjadi jalan koridor sekaligus wilayah jelajah (home range) satwa liar Gajah. Tidaklah mengherankan karena konsesi kedua IUPHHK-HT tersebut berbatasan dengan TN Bukit 30. Benar-benar konflik yang super rumit dan teramat sangat kompleks.

Secara rinci, berdasarkan instrumen teknis pedoman pemetaan konflik berbasis Perdirjen PHPL No. P.5 Tahun 2016, di kedua areal konsesi IUPHHK-HT tersebut ditemukan 9 potensi konflik sekaligus. Kesembilan potensi konflik tersebut meliputi (1) Konflik perambahan perladangan, (2) Konflik perambahan perkebunan karet, (3) Konflik perambahan perkebunan kelapa sawit, (4) Konflik permukiman dan fasilitas umum, (5) Konflik jual beli lahan, (6) Konflik Illegal logging, (7) Konflik manusia dengan satwa (konflik satwa), (8) Konflik klaim hutan adat, serta (9) Konflik Reklaim.

Dengan jumlah kasus potensi, skala dan status potensi masing-masing konflik yang demikian tinggi serta memiliki kerumitan dan kompleksitas yang luar biasa, tidaklah mengherankan hasil identifikasi pemetaan potensi konflik di kedua konsesi IUPHHK-HT di tingkat unit manajemen tersebut bersifat SANGAT KRITIS. Dengan kata lain, kedua perusahaan pemegang konsesi tersebut berada dalam kondisi darurat konflik.

Atas fakta tersebut, salah satu rekomendasi penyelesaian konflik yang harus dilakukan adalah dengan melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan. Itulah asal muasal timbulnya usulan pembentukan Tim Resolusi Konflik multipihak atau TRK untuk PT. Lestari Asri Jaya dan PT. Wanamukti Wisesa (Wana Aksara. 2017).

Resolusi Konflik di Tingkat Tapak

Sama sekali tidak mudah mengurai kompleksitas konflik. Apalagi menyelesaikan berbagai kasus potensi konflik yang sangat rumit dan kompleks. Dukungan para pihak saja tidaklah cukup. Yang paling penting dan prioritas adalah kemampuan Tim Resolusi Konflik multipihak untuk turun dan hadir langsung di tengah masyarakat.

Berinteraksi dan membangun komunikasi di tingkat tapak. Dalam rangka memahami konteks konflik di lapangan. Sekaligus mulai membangun kepercayaan (trust building process) diantara para pihak yang sejak lama terkikis karena perbedaan latar belakang dan cara pandang. Bahkan yang paling utama adalah perbedaan kepentingan.

Untuk mewujudkan kehadiran Tim Resolusi Konflik multipihak di tingkat tapak, Bupati Tebo selaku salah satu anggota Tim Pengarah membentuk Kelompok Kerja atau Pokja. Untuk mengakomodir seluruh potensi kasus konflik. Tidak main-main. Dibentuk 3 Pokja sekaligus.

Pertama, Pokja Sosialisasi dan Inventarisasi. Bertujuan untuk mensosialisasi keberadaan Tim Resolusi Konflik multipihak sekaligus melakukan inventarisasi kasus-kasus konflik di lapangan.

Kedua, Pokja Mediasi. Bertujuan menindaklanjuti temuan kasus konflik hasil Pokja Sosialisasi dan Inventarisasi.

Ketiga, Pokja SAD. Pokja yang secara khusus dibentuk untuk menyelesaikan masalah SAD dalam perspektif yang lebih luas dan berjangka panjang. Bukan melalui negosiasi apalagi penegakan hukum. Namun lebih pada upaya pengembangan kapasitas SDM komunitas SAD. Melalui peningkatan pendidikan dan kesehatan warga SAD. Serta pemberdayaan dan proses-proses pengembangan kemandiriannya dalam bingkai kelola hutan adatnya.

Meskipun belum tuntas, selama hampir dua tahun masa kerjanya, Tim Resolusi Konflik multipihak telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya resolusi berbagai kasus konflik di PT. Lestari Asri Jaya dan PT. Wanamukti Wisesa. Hasil pembaruan data pemetaan potensi dan resolusi konflik di kedua IUPHHK-HT tersebut pada akhir tahun 2019, terdapat beberapa output penting yang menggembirakan.

Pertama, telah terjadi penurunan status potensi konflik di tingkat unit manajemen PT. Lestari Asri Jaya dan PT. Wanamukti Wisesa. Dari semula berstatus SANGAT KRITIS kini turun satu tingkat menjadi KRITIS.

Kedua, status potensi konflik pada kasus-kasus konflik tertentu mengalami penurunan dari tahun 2017 ke tahun 2019. Kasus yang menurun status potensi konfliknya antara lain kasus perambahan perkebunan karet, jual beli lahan, illegal logging dan hutan adat SAD yang menurun dari semula KRITIS (2017) menjadi WASPADA (2019). Sementara kasus reklaim lahan menurun dari WASPADA (2017) menjadi TERKENDALI (2019).

Ketiga, berdasarkan hasil pembaruan pemetaan potensi konflik tahun 2019 juga ditemukan fakta penting. Bahwa luas areal konflik berkurang dibandingkan tahun 2017. Khususnya areal konflik (1) Perladangan, (2) Perkebunan karet masyarakat, (3) Perkebunan sawit masyarakat, (4) Jual beli lahan dan (5) Reklaim lahan. Luas total pengurangan areal konflik yang bisa dimanfaatkan menjadi areal tanaman perusahaan meliputi seluas ± 7.933 ha.

Sebagian besar karena penyelesaian konflik melalui (1) Kesepakatan “tali asih” seluas ± 7.601 ha dan sebagian kecil karena (2) Kesepakatan kerja sama kemitraan seluas ± 124 ha, dan sisanya melalui (3) Penegakan hukum seluas ± 208 ha (Wana Aksara. 2019).

Bagaimanapun, ditengah masih tajamnya dinamika konflik di berbagai kawasan hutan, serta rendahnya tingkat kepercayaan para pihak yang berkonflik, apa yang dicapai oleh Tim Resolusi Konflik multipihak -yang awalnya diinisiasi Dinas Kehutanan provinsi Jambi- tentulah menjadi sebuah catatan yang sangat berarti. Bahwa, tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan. Sepanjang terdapat niat dan itikad baik. Termasuk dukungan para pemangku kepentingan di pusat, daerah hingga di tingkat lapak. Tanpa kecuali.

Penutup

Pembangunan HTI di seluruh Indonesia pada saat ini masih menghadapai banyak sekali persoalan dan tantangan. Salah satunya yang paling dominan adalah persoalan konflik lahan. Ia menjadi duri yang menghambat upaya penanaman. Akibatnya, realisasi penanaman HTI di Indonesia seperti terkena kutukan. Stagnan dan sulit bergeser. Apalagi mencapai luasan yang ditargetkan Pemerintah.

Dalam perkembangannya Tim Resolusi Konflik multipihak telah mampu menjalankan tugas dan fungsi dengan baik. Sesuai maksud serta tujuannya. Lebih dari itu. Dalam perkembangannya Tim Resolusi Konflik multipihak bahkan bisa berperan aktif. Menjelma menjadi sebuah kelembagaan resolusi konflik yang efektif di tingkat tapak. Atas peran dan kontribusinya, serta dukungannya yang masih sangat diperlukan maka masa kerja Tim Resolusi Konflik multipihak sangat direkomendasikan semua pihak untuk diperpanjang.

Bagaimanapun, kinerja Tim Resolusi Konflik multipihak beserta seluruh dinamikanya, tentulah tidak bersifat tunggal. Ia dipengaruhi oleh beragam faktor yang saling terkait. Dalam rentang peristiwa dan periode waktu yang terjalin. Menjelma menjadi sebuah sinergi yang menggabungkan peran para aktor dan kinerja sektor kelembagaan multi pihak. Semuanya diharapkan bisa menjadi sebuah proses pembelajaran menuju capaian target yang diharapkan.

Kuncinya tentu ada pada komitmen manajemen IUPHHK-HT dan masyarakat penguasa atau penggarap lahan. Melalui proses – proses mediasi resolusi konflik secara terbuka dan setara. Dengan melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan. Mengutamakan pendekatan musyawarah dan negosiasi. Sehingga menghasilkan kesepakatan resolusi konflik yang bukan saja akomodatif dan diterima semua pihak. Namun juga memiiki legitimasi dan keberterimaan tinggi di tengah masyarakat. Yang pada akhirnya bisa menjadi model kerjasama kemitraan bagi anggota masyarakat lainnya. Tentu untuk kelancaran dan keberlanjutan pembangunan HTI yang ramah masyarakat di masa depan. Semoga *****

Leave a Reply

Your email address will not be published.