“Sejarah peradaban mengakui Ibu sebagai sumber benih kepemimpinan. Sejalan dengan perubahan sistem dan tata nilai modernitas, hari ini Ibu adalah sang pemimpin itu sendiri. Yang menjadi obor bagi suksesnya rehabilitasi”
Gerakan Nasional Pemulihan DAS (GN-PDAS) Tahun ini kembali digelar. Kali ini Kota indah dan sejuk di Batu Malang memperoleh kehormatan. Menjadi tuan rumah perhelatan besar. Berlangsung semarak pada tanggal 05 Desember 2019. Disiapkan sang arsitek teknokratik kehutanan. Plt. Dirjen PDASHL, KLHK, Hudoyo. Dipimpin langsung Menteri Kehutanan RI, Siti Nurbaya. Dihadiri dan diramaikan seluruh jajaran pejabat teras KLHK. Hadir pula Gubernur Jawa Timur beserta jajaran pimpinan dan tokoh masyarakat Jawa Timur. Tak ketinggalan para Bupati dan Walikota serta pimpinan maupun tokon masyarakat dari Kabupaten dan Kota di sekitar Batu Malang. Sipil maupun militer.
Ada banyak fenomena menarik dalam acara tersebut. Bukan hanya seremonial, agenda pameran atau acara simbolik penanaman pohonnya. Lebih dari itu, yang paling menarik dari kacamata sosial kultural adalah upaya meneguhkan tekad dan semangat. Untuk memulihkan dan merawat bentang alam DAS Brantas. Anak kandung hutan dan lahan di sebelah timur Jawa. Yang selalu setia menjadi sumber kehidupan komunitas hulu – hilir sepanjang ± 300-an kilometer. Menjelma sebagai sistem penyangga kehidupan berabad-abad secara lintas generasi. Lebih dari itu. Berbagai pesan yang disampaikan serta dialektika yang berkembang sangatlah gamblang. Tentang komitmen menjaga dan memulihkan DAS demi keberlanjutan peradaban di masa depan. Sebagai sebuah keniscayaan.
Tak berlebihan kiranya bulan Desember merupakan bulan istimewa. Kalender nasional memberikan penghargaan kepada kaum wanita Indonesia. Khususnya para ibu. Ya, setiap tahun di bulan Desember memang diperingati sebagai hari mulia. Hari Ibu.
Dalam konteks peran wanita pada pelestarian lingkungan hidup itulah acara puncak GN-PDAS 2019 menjadi spesial dan istimewa. Hadir sekaligus memberikan sambutan tiga Srikandi lingkungan hidup dan kehutanan. Masing – masing adalah Walikota Batu Malang Hj. Dra. Dewanti Rumpoko, M.Si., Gubernur Jawa Timur Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, M.Si., serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc.
Sejarah peradaban mengakui Ibu adalah sumber benih yang melahirkan para pemimpin. Mulai dari level kecil di tingkat kelompok komunitas. Hingga di tingkat lebih besar kerajaan bahkan kekaisaran dunia. Tak terkecuali saat ini sebagai pemimpin negara adidaya dan adikuasa. Hari ini sejalan dengan pergeseran dan perubahan sistem tata nilai modernitas, Ibu bukan lagi hanya melahirkan pemimpin. Hari ini Ibu adalah pemimpin itu sendiri. Menjadi pejuang sekaligus ksatria dalam membangun dan memperjuangkan nilai – nilai lingkungan. Demi keberlanjutan kehidupan.
Dewanti Rumpoko menanamkan lingkungan sebagai bentang alam yang memberi sumber kehidupan kota dan warganya. Melalui pariwisata alam. Tengoklah, keindahan bentang alam dan kesegaran udara kota Batu Malang. Menjelma menjadi katup sekaligus katarsis warga kota – kota di Jawa Timur. Untuk memperoleh kesegaran jasmani dan rohani. Untuk terbebas dari tekanan dan depresi melalui kegiatan rekreasi dan wisata berbasis alam.
Upaya itu dilakukan melalui resultante berbagai kegiatan petani. Dalam merehabilitasi daerah hulu melalui penanaman pohon. Sekaligus praktek bertani ramah lingkungan. Sementara warga masyarakat Kota Batu umumnya membangun budaya sehat. Dengan menjaga kebersihan sungai-sungainya. Tidak membuang sampah –apapun bentuk sampahnya- ke sungai. Belum sempurna memang. Namun itu soal waktu. Akan segera tercapai sejalan dengan peningkatan kesadaran warga masyarakat. Sebagai bagian dari kultur mereka.
Di tingkat yang lebih luas. Srikandi Lingkungan Khofifah Indar Parawansa membentuk sebuah tagline baru. Sangat tidak lazim alias out of the box. Sang Gubernur menjadikan masalah-masalah lingkungan yang berat, tidak popular dan dihindari sehingga selama ini selalu tidak atau belum bisa terselesaikan. Menjelma menjadi pekerjaan rumah alias PE – ER. Justru di tangannya kemudian dibalik menjadi sumber penerimaan atau pendapatan masyarakat. Ya, mantan Menteri Pemberdayaan Wanita di era Gus Dur tersebut merubah beban PE – ER lingkungan menjadi ER – PE lingkungan. Sekali lagi rupiah atau Rp. Yang identik dengan (mata) uang atau income. Sebuah pendekatan kultural ala arek Jawa Timuran yang tak mungkin bisa dilakukan bila yang bersangkutan bukanlah seorang Ksatria kasta tertinggi dengan ilmu budaya dan pengalaman politik tingkat dewa.
Konkritnya, Khofifah yang melihat nilai dan budaya masyarakat selama ini menjadikan kali Brantas sebagai tempat sampah raksasa. Wadah tempat dibuangnya semua barang yang tak berguna. Kini, mantan Menteri Sosial itu menjadikan sebaliknya. Kali Brantas menjadi sumber kehidupan yang tercermin dari kemampuan menghasilkan atau meningkatkan pendapatan masyarakat di sepanjang sungainya. Melalui mobilisasi semua elemen warga masyarakat. Dari petani, pelajar, mahasiswa, perguruan tinggi, dunia usaha hingga aparat pemerintahan.
Yang paling berat tentulah Srikandi ketiga. Siti Nurbaya yang kini kembali didapuk menjabat periode kedua kepemimpinannya di gedung MWB. Tanggung jawab Siti Nurbaya bukan hanya satu DAS Brantas di Jawa Timur. Masih ada 34 DAS prioritas lain di seluruh Indonesia yang harus dijaga dan dipulihkan fungsi ekosistemnya. Tentu dengan beragam kondisi biofisik dan situasi sosial, ekonomi serta budaya masyarakatnya. Siti Nurbaya, harus mampu mewujudkan visi Presiden Joko Widodo yang meminta kegiatan rehabilitasi bukan hanya kegiatan penanaman semata. Melainkan menjelma menjadi kegiatan yang lebih besar dan strategis. Pemulihan DAS.
Itulah mengapa Siti Nurbaya menekankan keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan pada pendekatan sosio kultural. Budaya. Bukan melulu pendekatan teknis. Namun melalui upaya Internalisasi budaya menanam sebagaimana yang kini sudah mulai terbangun di kalangan masyarakat Jawa. Siti meminta agar upaya internalisasi budaya menanam juga dilakukan pada masyarakat di luar Jawa. Harapannya, keberhasilan pengembangan berbagai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan maupun skema perhutanan sosial bisa mengembalikan fungsi DAS. Baik hulu mapun hilir.
Demikianlah. Peran wanita sebagai pemimpin, maupun kontribusi para Ibu umumnya dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan menanam tak dapat dibantah. Untuk tujuan mulia. Menjaga kelestarian lingkungan sebagai penyangga sistem kehidupan. Termasuk memulihkan fungsi DAS sebagai penyangga system peradaban. Semuanya sedikit banyak sangat ditentukan peran dan kontribusi kaum wanita.
Sudah saatnya, negara memberikan peran yang lebih jelas dan nyata kepada para wanita. Dalam membangun nilai-nilai konservasi dan lingkungan di tingkat keluarga, lembaga dan masyarakat. Karena itu, diyakini sepenuhnya bila kegiatan RHL ke depan akan memberikan keberhasilan. Bila peran yang jauh lebih besar juga diberikan kepada para wanita. Berbanding lurus.
Kisah tiga srikandi lingkungan di atas menjadi potret nyata sekaligus contoh konkrit. Betapa peran pemimpin wanita dan kontribusi para Ibu telah menjadi tugas sejarah. Dalam mensukseskan program RHL berbasis pemulihan DAS. Msih banyak srikandi-srikandi di Ditjen PDASHL dan BPDASHL, Kelompok Wanita Tani dan berbagai kelembagaan lainnya. Mari kita bersama-sama menjadikan perubahan orientasi RHL masa depan yang memberikan peran lebih besar kepada para wanita dan kaum Ibu sebagai kunci suksesnya. Selamat memperingati GN-PDAS dan Hari Ibu 2019. *****
Serpong, 22 Desember 2019